Sistem Hukum di Pengadilan Berbasis Agama
Oleh: M. Khusnul Khuluq, S.Sy., M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Sungai Penuh, Jambi)
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Hukum Islam bukalah istilah yang populer dalam tradisi Islam awal. Ini adalah konsep yang sama sekali baru. Sehingga, ketika disebut kata hukum Islam, maka harus ditelisik lebih lanjut apa yang dimaksudkan istilah tersebut. Lantas, bagaimana cara kerja sistem hukum di peradilan berbasis agama dewasa ini?
Istilah hukum dewasa ini merujuk pada berbagai peraturan atau norma yang telah ada maupun yang sengaja dibuat untuk mengatur tingkah laku individu dalam suatu masyarakat. Dan itu ditegakkan oleh kekuasaan. Sedangkan istilah Islam merujuk pada agama Islam itu sendiri. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Istilah hukum Islam merupakan peraturan legal-positif yang digali dari prinsip-prinsip Islam yang diberlakukan pada suatu masyarakat oleh kekuasaan.
Satu hal yang menjadi ciri hukum Islam adalah bahwa hukum Islam bersumber pada Islam itu sendiri, baik syariah maupun fikih. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hukum Islam merujuk pada syariah dan atau fikih yang dipositifkan, sehingga bersifat mengikat bagi masyarakat.
Mengikat dalam konteks ini adalah bahwa, ada konsekuensi tertentu bagi yang tidak menjalankan. Dengan demikian, pengertian hukum Islam disini kiranya lebih dekat kepada qanun dalam pengertian Islam klasik. Meskipun kadang, juga merujuk pada syariah atau fikih.
Karakter dari pada qanun sarat akan muatan legal-positif. Sementara fiqih maupun syariah selalu berkutat pada wilayah etik sekaligus teologis metafisis. Karena pada qanun terdapat perangkat yang mengawalnya. Adapun syariah ataupun fiqih lebih syarat akan muatan etik.
Sebuah wilayah di Indonesia yang menerapkan qanun adalah Aceh. Dalam sistem hukum kontemporer dalam konteks nation state, qanun tersebut setara dengan peraturan daerah (Perda).
Dalam kasus ini, telah jelas bahwa itu adalah fiqih dan atau syariah yang telah mengalami positivisasi. Mereka yang berada dalam wilayah tersebut terikat dengan qanun tersebut. Meskipun dalam beberapa kasus, qanun tersebut terus dipersoalkan karena dianggap diskriminatif.
Banyak kalangan yang mempersoalkan qanun di Aceh. Para aktifis HAM banyak yang mengecam dalam kaitannya dengan hudud dan sejenisnya. Bahkan qanun Aceh ini biasanya disebut perda bernuansa agama atau bahkan perda diskriminatif.
Terlepas dari persoalan tersebut, ulasan ini hendak memberi ilustrasi tentang hukum Islam. Contoh selain qanun Aceh adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI merupakan akumulasi fikih yang telah mengalami positivisasi sebagaimana qanun.
Hukum Islam dalam pengertian qanun maupun KHI diterapkan dengan basis kepercayaan. Umat Islam percaya bahwa hukum Allah adalah hukum yang benar. Karena itu hukum tersebut harus diterapkan. Ada beberapa ayat yang biasanya dipakai sebagai argumen dalam hal ini. Misalnya, dalam Al-Quran surat Al Maidah ayat 44 yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Q.S. Al Maidah: 44)
Begitu juga Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 45 yang Artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim” (Q.S Al-Maidah: 45)
Juga Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 47 yang artinya: “Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” (Q.S. Al Maidah: 47)
Ketiga ayat di atas saya kutip secara keseluruhan untuk memberikan gambaran yang jelas. Ketiga ayat itulah, dan juga masih banyak ayat sejenis ini, yang biasanya digunakan oleh beberapa kalangan untuk bersikeras bahwa manusia harus memakai hukum Allah. Namun, bisakah dipastikan apa yang dimaksud hukum Allah tersebut?
Apa yang dianggap sebagai hukum Allah pengertiannya sangat bias. Bahkan jika yang dimaksud adalah Al-Quran dan Sunnah (hadits), itu tentu telah bersentuhan dengan berbagai subyektifitas, metodologi, pemahaman, ideologi, bias kepentingan, latar sosiokultural, dan lain sebagainya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Inilah yang disebut oleh Jaseer Auda dengan interest and competent worldview. Jika iya, maka di era dewasa ini, tentu membutuhkan kajian yang lebih mendalam dan berbagai pendekatan baru terhadap ketentuan-ketentuan dalam kedua sumber tersebut sebelum diberlakukan.
Persoalan lain yang cukup signifikan untuk didiskusikan di sini adalah bahwa dalam konsep hukum Islam, terdapat dua tradisi yang saling bertentangan. Yakni tradisi teologis-metafisis dan tradisi positivisme.
Pertama, tradisi teologis-metafisis. Paradigma atau tabiat dari Islam bersifat teologis sekaligus metafisis. Artinya kita diajak untuk membayangkan dalam pikiran kita bagaimana Tuhan sedang berbicara. Kemudian kita mencerna sabda tersebut untuk kemudian diucapkan ulang. Ini adalah persoalan teologi.
Persoalan teologi adalah persoalan kebebasan pikiran. Persoalan teologi adalah persoalan kekuatan argumentasi. Artinya, secara teologis, orang boleh mengajukan diskursus apapun dengan berbagai argumen mereka masing-masing. Inilah tradisi Islam awal. Sehingga pada Islam awal, apa yang disebut hukum adalah apa yang diucapkan Nabi. Al hukmu fii lisaani An-Nabi.
Pada masa berikutnya. Hukum berada di lisan para ulama. Itulah mengapa kita akan menemui berbagai pendapat yang sangat variatif tentang satu persoalan. Inilah yang kemudian disebut dengan istilah khilafiyah. Dalam tradisi yang demikian, setiap orang boleh mengajukan diskursus teologis dengan berbagai argumentasi mereka. Karena teologi adalah persoalan argumen. Argumentasi berada dalam pikiran. Pikiran adalah tempatnya kebebasan. Kita tidak dapat melarang orang untuk memikirkan atau tidak memikirkan suatu hal. Itulah faktanya.
Mungkin, akan ada yang menyangkal bahwa teologi dalam Islam harus memenuhi standar tertentu. Namun, diakui atau tidak, disengaja atau tidak, tabiat pikiran adalah kebebasan. Itulah mengapa sah-sah saja para ulama berbeda pendapat bahkan hanya karena perbedaan penafsiran satu bentuk kata saja dalam Al-Quran, akan dapat menuai banyak perbedaan pendapat. Ini biasa saja.
Kedua, tentang filsafat positivisme. Apa yang disebut hukum dewasa ini tidak lepas dari pengaruh filsafat positivisme ala Auguste Comte. Seorang filsuf berkebangsaan Prancis. Apa itu positivisme? Dalam perspektif Comte, positivisme artinya memotong aspek teologis-metafisis dari sebuah diskursus. Sehingga yang tersisa adalah aspek positif dari diskursus tersebut. Itulah yang kemudian berpengaruh pada paradigma hukum dewasa ini.
Tradisi ini berbanding terbalik dengan tradisi pertama. Yakni tradisi teologi-metafisis dalam Islam. Yang dikehendaki dari tradisi positivisme adalah kepastian. Sementara itu, teologi dan metafisis adalah ketidakpastian. Di sini kontradiksinya.
Bagaimana dengan hukum Islam yang telah mengalami positivisasi? Kembali pada Comte. Positivisasi artinya memotong aspek teologis-metafisis dari sebuah diskursus. Sehingga yang tersisa adalah aspek positifnya.
Hal ini mungkin memberi konsekuensi yang cukup serius terhadap hukum Islam yang telah mengalami positivisasi. Sebut saja qanun atau juga KHI dan sejenisnya. Kita tidak bisa membawa diskursus teologis-metafisis untuk membicarakan satu pasalpun dalam qanun atau KHI. Karena aspek metafisi-teologisnya telah dipotong.
Dalam konteks positivisme hukum, seseorang tidak bisa menafsirkan suatu pasalpun secara teologis ataupun metafisis. Jika itu dilakukan, yang terjadi justru kemunduran jika bukan kekacauan. Artinya, jika kita membicarakan qisas atau hudud dalam qanun misalnya, itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Begitu juga syarat-syarat perkawinan dalam KHI misalnya, juga tidak ada kaitanya dengan Tuhan. Dan seterusnya. Itulah konsekuensiya.
Positivisasi hukum Islam juga berdampak pada cara kerja para praktisi hukum Islam. Dalam dunia peradilan berbasis agama misalnya, para hakim mesti dituntut untuk bekerja dengan paradigma positifistik. Artinya, untuk mengajukan suatu diskursus, seorang hakim musti ditagih argumen positifnya. Mereka akan ditanya pasal berapa dan dalam regulasi mana pasal yang digunakan. Bukan bagaimana pandangan Tuhan tentang hal itu. Meskipun, pikiran-pikiraan teologis-metafisis dalam pikiran mereka itu ada. []