CERAI GUGAT DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HAK MUT’AH DAN NAFKAH IDDAH DI PENGADILAN AGAMA
Oleh H. Fitriyadi, S.H.I.,S.H.,M.H[1]
A. PENDAHULUAN
Bahwa Perkawinan adalah perjanjian suci yang sangat kuat antara laki-laki dan perempuan yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 2, yaitu; “perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.” Tentunya konsep ini melahirkan prinsip dalam perkawinan untuk saling mencintai, menghormati, meridhoi dan menyayangi dalam membentuk rumah tangga sakinah, mawaddah, warrahmah.
Perempuan yang kedudukannya sebagai istri dalam rumah tangganya, menurut doktrin agama dan budaya menunjukkan sebagai figur yang ideal dan baik. Muhammad menyatakan bahwa tradisi yang berlaku dalam masyarakat perempuan yang merupakan istri harus menjadi penurut, patuh dan taat kepada suami. Meskipun demikian, perempuan kerapkali mendapatkan perlakuan kekerasan dari suaminya yang membuat tidak sanggup lagi untuk hidup bersama dengan suaminya.[2] Suami dengan perlakuan kasar terhadap istrinya tentunya akan menimbulkan penderitaan baik secara fisik ataupun mental yang mengakibatkan suatu sikap bagi perempuan untuk mengakhiri perkawinannya di Pengadilan Agama dengan bercerai dengan cara mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama (Cerai Gugat) yang bukan saja hak talak hanya dimiliki oleh suami. Begitu juga sebaliknya bagi suami yang sudah tidak bisa membangun keluarga yang sakinah dengan istrinya dia bisa menceraikan istrinya di Pengadilan Agama dengan cerai Talak.
[1] Hakim Pengadilan Agama Marabahan.
[2] Muhammad, K. H. H. (2009). Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama danGender. LKIS PELANGI AKSARA.
Selengkapnya KLIK DISINI